Memahami Pria (3)

      ---------------
      - oleh : Dr. Paul Gunadi
      ---------------------------------

Keengganan pria mengakui kekurang-mampuannya bersumber dari ketakutannya bahwa ia tidak lagi "dianggap pria". Satu komentar tentang wanita yang adakalanya saya dengar dari sesama pria adalah, "Wanita itu materialistik." Sudah tentu keabsahan persepsi ini dapat diperdebatkan siang dan malam, tetapi yang penting ialah, persepsi ini ada di benak sebagian pria. Tidak bisa tidak, bagi sebagian pria jalan untuk mengendalikan istri adalah melalui cara materialistik. Tujuan pertama-nya memang untuk memenuhi kebutuhan keluarga, namun tujuan ~utama~nya belum tentu itu. Bisa jadi, tujuan utamanya adalah untuk menjaga wibawa atau kehormatan dirinya di mata istrinya. Oleh sebab itulah, keluhan istri yang berbau finansial mudah sekali ditafsirkan sebagai penghinaan terhadap dirinya.

PRIA juga ingin berhasil secara seksual. Masalahnya ialah, secara jasmani pria ~berlari~ kearah klimaks sedangkan wanita ~berjalan~ ke arah klimaks. Maksud saya, wanita membutuhkan waktu yang jauh lebih lama dibanding pria untuk mencapai puncak kepuasan seksual. Akibatnya, acap kali pria mencapai klimaks terlebih dahulu sedangkan wanita tertinggal di belakang. Hal ini dapat melahirkan perasaan cemas pada diri pria sewaktu berhubungan dengan istri, apalagi jika pria melihat rona kekesalan atau kejengkelan pada istrinya. Komentar istri terhadap performa suaminya di tempat tidur mudah sekali menimbulkan rasa minder pada diri si suami. Jalan terbaik mengatasi masalah ini adalah dengan memperlambat tingkat perangsangan pada diri pria dan
sekaligus memberi prioritas pada perangsangan istri.

Salah satu kemalangan yang saya lihat di dalam hidup ini ialah, pria kerap kali terjebak di dalam keangkuhannya sendiri. Pria merindukan kemerdekaan, pria ingin hidup bebas dan apa adanya, tanpa embel-embel pembuktian diri. Namun apa daya, ia pun harus hidup di dalam lingkup sosialnya. Konsep dirinya yang beralaskan pekikan "Aku bisa!" menyulitkannya berbisik dengan lirih, "Aku tak bisa." Ia pun akhirnya memilih menjauh dari hidup merdeka dan otentik. Sayang sekali, kemerdekaan terlalu dikaitkan dengan kemenangan. Tantangan hidup pria sekaligus pertanyaan yang saya ingin ajukan kepada sesama rekan pria adalah, "Bolehkan kita merdeka untuk kalah?"

Sebelum Getsemani, Petrus dengan gegap gempita berseru, "Tuhan, aku siap mengikuti-Mu ke penjara bahkan sampai kepada kematian" (Lukas 22 : 33). Setelah Getsemani, di dalam gelap gulita Petrus bersumpah, "Aku tidak mengenal-Nya (Lukas 22 : 57). Kemenangan pun menggeliat berubah menjadi kekalahan. Puji Tuhan, Petrus tidak berhenti di situ. Ia memutuskan untuk menjadi bebas bahkan dalam kekalahannya. Tatkala Tuhan Yesus memandangnya usai ia bersumpah, Petrus pun keluar dan menangis dengan sedihnya. (Lukas 22 : 61-62).

Pria tidak selalu keluar dari arena finansial dan seksual sebagai
pemenang, sebaliknya, tidak semua tanggapan istri (bahkan sedikit sekali yang) bertujuan untuk mempermalukan atau menghina kehormatan diri pria. Pria harus  membangun dan memelihara kehormatan dirinya di hadapan Tuhan, yakni dengan cara hidup menyenangkan hati Tuhan. Integritas pria di hadapan Tuhan adalah kehormatan dirinya, lepas dari kemungkinan apakah wanita akan menghargainya ataukah tidak. Saya percaya pada prinsip Firman Tuhan yang mengemukakan bahwa siapa menabur, ia menuai. Apabila pria menabur pola, "Hormatilah diriku karena aku kaya dan jantan", maka
tanpa disadarinya, ia pun sedang mengkondisikan istrinya untuk menghormatinya atas dasar kekayaan dan ketangguhan seksualnya belaka. Akhirnya, ia pun hanya akan menuai respek istri yang dangkal dan terkotak-kotak, yang tidak melihat dan menerima dirinya secara utuh.

Keangkuhan menuntut penghormatan, kerendahan diri yang tepat membuahkan keagungan ilahi. Sebagai duta Kristus di rumah tangga kita, seyogianyalah kita, para pria, mencerminkan keagungan Tuhan. []

      ------------tamat.---

Anda adalah pengunjung ke

sejak 30 April 2001

MEMAHAMI PRIA (1) | MEMAHAMI PRIA (2) | MEMAHAMI PRIA (3) | KISAH INDAH